Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebutkan istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hanya menyebutkan alasan penghapusan pidana. Penjelasan alasan penghapusan pidana, dibedakan menjadi: alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar, dan alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Berturut-turut akan dibicarakan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang alasan penghapusan pidana.
- Tidak Mampu Bertanggungjawab;
Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit.
- Daya Paksa (overmacht);
Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikatakan tdak dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dibuat.
Daya paksa yang absolut (vis absoluta) dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Sedangkan daya paksa dalam Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ialah daya paksa relatif (vis compulsiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu sebenarnya dapat ditahan tetap dari orang yang di dalam paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan daat mengadakan perlawanan.
- Pembelaan Darurat (noodweer);
Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang yang main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum. Disini orang seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya.
- Menjalankan Undang-undang;
Tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa peraturan undang-undang itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.
- Melaksanakan Perintah Jabatan;
Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikatakan “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah”. Orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Maka jika seseorang melakukan perintah yang sah ini, maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut permasalahan bidang hukum lainnya dapat menghubungi kami A&A Law Office melalui Telephone/WA di atau mengirimkan email ke lawyer@aa-lawoffice.com. A&A Law Office merupakan pengacara terbaik di Indonesia, karena didukung oleh Sumber Daya Manusia/Pengacara-pengacara yang tidak hanya ahli dibidang hukum perdata/privat, akan tetapi juga didukung oleh Pengacara-pengacara yang ahli dibidang Hukum yang lainnya.
A&A Law Office mengedepankan prinsip Profesionalisme dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi klien. Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya selalu berpijak kepada komitmen dan tangung jawab jasa profesi dan kode etik setiap menjalankan profesi bidang hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.