Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memberi wewenang kepada peyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Rasionalisasi atau alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ini, antara lain: Untuk menegakkan prinsip peradilan cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat, jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan atau penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka dimuka persidangan untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan. Agar tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat.
Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntut ganti kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/ terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasar Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun alasan penghentian penyidikan, Undang-undang telah menyebutkan secara limitative. Alasan penghentian penyidikan yang disebut pada pasal 109 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdiri dari:
- Tidak Diperoleh Bukti yang Cukup
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang menghentikan penyidikan.
- Peristiwa yang Disangkakan Bukan Merupakan Tindak Pidana
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. atau tegasnya, jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan dihentikan.
- Penghentian Penyidikan Demi Hukum
Pertama, Nebis in idem tercantum dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tersangka meninggal dunia tercantum dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan.
Kedua, karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78 Kitab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan.
Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut permasalahan bidang hukum lainnya dapat menghubungi kami A&A Law Office melalui Telephone/WA di atau mengirimkan email ke lawyer@aa-lawoffice.com. A&A Law Office merupakan pengacara terbaik di Indonesia, karena didukung oleh Sumber Daya Manusia/Pengacara-pengacara yang tidak hanya ahli dibidang hukum perdata/privat, akan tetapi juga didukung oleh Pengacara-pengacara yang ahli dibidang Hukum yang lainnya.
A&A Law Office mengedepankan prinsip Profesionalisme dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi klien. Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya selalu berpijak kepada komitmen dan tangung jawab jasa profesi dan kode etik setiap menjalankan profesi bidang hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.