
Dari sudut pandang Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengkaji dapat tidaknya proses pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitor dihentikan karena adanya klausula arbritase.
Sengketa perdata yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase juga telah dibatasi oleh Undang-Undang, yaitu hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun sengketa yang tidak dapat diselesai-kan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Bahwa telah terjadi ketidak-sinkronan di antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan terkait dengan kekuatan hukum klausula arbitrase sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang di antara kreditor dan debitor.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa jelas-jelas memberikan dasar hukum yang kuat bagi para pihak yang telah mengadakan perjanjian atau kesepakatan untuk memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa sepanjang hal-hal yang menyangkut kepentingan keperdataan para pihak. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menegaskan bahwa perjanjian arbitrase tidak menjadi batal oleh keadaan antara lain bangkrutnya salah satu pihak atau insolvensi salah satu pihak. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya asas Pacta Sunt Servanda dan asas Freedom of Contract yang menjamin dan menjadi dasar mengikatnya klausula arbitrase sebagai Undang-Undang bagi para pihak. Pengadilan sekalipun tidak boleh menolak adanya klausula arbitrase tersebut terkecuali jika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan landasan yuridisnya. Di sisi lainnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan merupakan Undang-Undang yang dibuat untuk mengatur bagaimana cara mempailitkan seorang debitor atas dasar putusan pengadilan (niaga) agar supaya harta si debitor atau budel pailit diletakkan di bawah sita umum. Namun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan tidak dapat membatalkan klausula arbitrase yang merupakan Undang-Undang bagi para pihak. Sehingga, seyogyanya klausula arbitrase dapat digunakan oleh para pihak untuk menghentikan proses pemailitan debitor, dan hakim pengadilan niaga seyogyanya memakai klausula arbitrase tersebut untuk menyatakan permohonan pemailitan si debitor dinyatakan tidak dapat diterima.
Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut permasalahan bidang hukum lainnya dapat menghubungi kami A&A Law Office melalui Telephone/WA di atau mengirimkan email ke lawyer@aa-lawoffice.com. A&A Law Office merupakan pengacara terbaik di Indonesia, karena didukung oleh Sumber Daya Manusia/Pengacara-pengacara yang tidak hanya ahli dibidang hukum perdata/privat, akan tetapi juga didukung oleh Pengacara-pengacara yang ahli dibidang Hukum yang lainnya.
A&A Law Office mengedepankan prinsip Profesionalisme dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi klien. Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya selalu berpijak kepada komitmen dan tangung jawab jasa profesi dan kode etik setiap menjalankan profesi bidang hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.