PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TINGKAT KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI

Apabila pengadilan tingkat pertama belum menghasilkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka para pihak dapat menempuh upaya hukum berikutnya. Hierarki upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”), berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri (‘PN”). PHI tidak mengenal upaya hukum banding. Pengadilan tinggi tidak diberi kewenangan memeriksa sengketa perburuhan. Pihak yang berkeberatan terhadap putusan PHI (judex facti), Undang-Undang memberi hak untuk mengajukan kasasi ke MA.

Putusan PHI mengenai perselisihan hubungan industrial, tidak semua bisa diajukan kasasi. Putusan yang boleh diajukan kasasi hanya putusan mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan hak. Putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat/serikat buruh dalam satu perusahaan, tidak boleh diajukan kasasi. Sesuai kaidah hukumnya, putusan PHI mengenai dua perselisihan tersebut, berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sejak diucapkan.

Pihak yang mengajukan kasasi disebut pemohon kasasi, sedangkan lawannya disebut termohon kasasi. Pihak yang dapat mengajukan kasasi adalah penggugat dan/atau tergugat yang keberatan atau menolak putusan judex facti. Permohonan kasasi umumnya diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan dengan putusan judex facti. Praktik pengadilan memperlihatkan hal yang sebaliknya, tergugat dan penggugat dalam kasus tertentu sama-sama mengajukan kasasi. Praktik itu memberi pemahaman bahwa hak salah satu pihak tidak hapus ketika salah satu pihak sudah menyatakan kasasi terlebih dahulu. Hal buruk dari praktik memperlihatkan bahwa pihak yang diuntungkan dengan putusan PHI, justru mengajukan kasasi.

Peninjauan Kembali (“PK”) dikenal sebagai upaya hukum luar biasa. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) tidak mengatur upaya hukum luar biasa. Merujuk pada pasal 57 UU PPHI dan UU MA, dapat mengajukan PK terhadap putusan PHI yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan itu mensyaratkan bahwa PK bisa diajukan setelah Berkekuatan Hukum Tetap (“BHT”). Putusan PHI dikatakan BHT kalau memenuhi dua alasan, yaitu: MA telah memutus perkara di tingkat kasasi, atau putusan PHI telah berkekuatan hukum tetap.

PK merupakan hak dari pihak yang dirugikan dengan putusan judex juris maupun judex facti. Sesuai normanya, PK terhadap putusan PHI hanya dapat diajukan satu kali. Permohonan PK dapat dicabut sebelum diputus. Pencabutan dilakukan karena alasan tertentu, dan pencabutan itu menutup hak pemohon mengajukan PK.