UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan dua syarat utama untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Yakni (i) perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya; (ii) perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait pencatatan, prosedurnya bergantung pada dimana lokasi perkawinan dilangsungkan. Jika di luar negeri, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah pasangan suami istri itu kembali ke Indonesia perkawinan harus didaftarkan ke Kantor Pencatatan Perkawinan di tempat tinggal mereka. Sebaliknya, jika perkawinan berlangsung di dalam negeri, maka wajib didaftarkan ke pegawai pencatat yang berwenang.
Apabila keabsahan perkawinan sudah jelas, maka prosedur perceraian bagi pasangan perkawinan campuran merujuk pada prosedur perceraian pada umumnya yang berlaku menurut UU Perkawinan. Jika kedua belah pihak beragama Islam, maka proses perceraiannya di Pengadilan Agama. Tetapi, jika non-muslim, maka proses perceraiannya di Pengadilan Umum.
Hak untuk mengajukan gugatan cerai dimiliki oleh suami atau istri. Namun, perceraian harus didasarkan pada alasan-alasan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penjelasan UU Perkawinan yang kemudian ditegaskan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 (“PP 9/1975”), terdapat enam alasan yang dapat menjadi dasar terjadi perceraian.
Pertama, salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Kelima, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. Keenam, antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jika memang memiliki alasan untuk bercerai, maka salah satu pihak dapat mendaftarkan gugatan ke pengadilan. Sebelumnya, pihak yang akan menggugat harus memperhatikan ketentuan mengenai kompetensi relatif atau kewenangan pengadilan yang lazimnya didasarkan pada domisili dari penggugat atau tergugat.
PP 9/1975 telah menetapkan jika perceraian didasarkan pada alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, maka gugatan diajukan ke pengadilan dimana penggugat berdomisili. Jika didasarkan pada alasan terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka gugatan diajukan ke pengadilan dimana tergugat berdomisili.
Khusus untuk perceraian dengan alasan karena salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, maka penggugat wajib menyertakan salinan putusan pengadilan terkait hukuman penjara dimaksud sebagai bukti. Sementara, jika tergugat tidak diketahui atau tidak jelas domisilinya, maka gugatan diajukan ke pengadilan dimana penggugat berdomisili.
Mau berkonsultasi mengenai hukum perceraian? Kami siap membantu Anda, silakan hubungi A & A Law Office di +62 812-4637-3200 (whatsapp available) atau email ke: lawyer@aa-lawoffice.com